Beberapa pengunjuk rasa yang terluka dikumpulkan setelah dibubarkan oleh Polisi terhadap pengunjuk rasa yang memblokir pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, pembubaran paksa massa yang berunjukrasa terkait penolakan tambang di Bima oleh aparat tersebut berakhir bentrok dan mengakibatkan dua orang warga tewas dan belasan lainnya luka-luka  (24/12/11). FOTO : AFP PHOTO
Beberapa pengunjuk rasa yang terluka dikumpulkan setelah dibubarkan oleh Polisi terhadap pengunjuk rasa yang memblokir pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, pembubaran paksa massa yang berunjukrasa terkait penolakan tambang di Bima oleh aparat tersebut berakhir bentrok dan mengakibatkan dua orang warga tewas dan belasan lainnya luka-luka (24/12/11). FOTO : AFP PHOTO (sumber: FOTO : AFP PHOTO)
Aksi yang pada awalnya berlangsung damai, berubah menjadi bentrok terbuka karena perlakuan aparat dan pemerintahan yang mengandalkan premanisme.

Kecamatan Lambu adalah kecamatan pemekaran dari Kecamatan Sape yang kini menjadi salah satu dari delapan belas kecamatan yang ada di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Kecamatan ini memiliki 12 desa dan terletak di ujung timur Kabupaten Bima.

Insiden berdarah di Pelabuhan Sape, Bima, Sabtu (24/12), mengakibatkan dua warga Kecamatan Lambu meninggal dunia, yakni Arif Rahman, 18, dan Syaiful, 17, dan puluhan lainnya menderita luka. Sembilan orang di antaranya masih dirawat di RSUD Bima.

Berikut ini latar belakang insiden berdarah tersebut beserta kronologi kejadian, menurut kesaksian lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTB:

Pada 2008, PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) mendapatkan Izin Usaha Penambangan (IUP).

IUP itu kemudian diperbaharui dan dilakukan penyesuaian IUP tersebut oleh Pemerintah Kabupaten Bima, pada 2010.

Dengan IUP (bernomor 188/45/357/004/2010), PT SMN mulailah melakukan pengoperasian di lokasi seluas 24. 980 hektar.

Mulai Demo Setahun lalu
Sekitar Desember 2010, sekelompok masyarakat mempertanyakan kehadiran PT SMN kepada camat setempat.

Pertemuan digelar di ruangan aula kantor Kecamatan Lambu antara kelompok masyarakat dan camat beserta aparaturnya tersebut menghasilkan kesepakatan PT SMN memang telah memiliki IUP bernomor 188/45/357/004/2010 dengan luas 24.980 Ha (SK Bupati Bima), yang beroperasi di kecamatan Lambu, Sape, dan Langgudu seluas 14.318 Ha untuk PT. Indo Mineral Cipta.

Persada yang beroperasi di kecamatan Parado tersebut seizin presiden (ijin pemerintah pusat).

Masyarakat meminta kepada camat untuk menolak kehadiran PT SMN dengan segenap aktivitasnya, mengingat luas lokasi yang begitu besar dan ancaman bahaya lingkungan yang tidak sebanding dengan jaminan kesejahteraan atas proses penambangan yang akan terjadi di Lambu.

Pada 31 Januari 2011, sekitar 1.500-an orang yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) kembali mendatangi kantor camat, dan meminta Camat Lambu untuk menandatangani surat pernyataan penolakan adanya penambangan emas yang telah dioperasikan oleh PT SMN.

Aksi tersebut dilanjutkan dengan long march pada hari Kamis (10/2-2011) dari lapangan Sura, Desa Rato, yang berjarak sekitar dua kilometer sampai ke kantor Camat Lambu.

Setiba di kantor camat, massa unjuk rasa melakukan orasi bergantian dan menyampaikan tuntutan yang sama: pemerintah harus mencabut IUP yang telah dikeluarkan kepada PT. SMN, dan sebagai bentuk pengabulan akan aspirasi rakyat Lambu itu, koordinator aksi meminta camat menandatangani Surat Pernyataan Penolakan.

Pengamanan aksi unjuk rasa yang dikawal oleh 250 personil aparat Polres Kota Bima, 60 personil gabungan intel dan Bareskrim dan 60 personil Brimob Polda NTB.

Pertemuan berakhir tanpa ada hasil.

Perwakilan FRAT menjelaskan pertemuan mereka di atas mobil komando.

Pengunjuk rasa merasa kecewa karena tidak dihiraukan oleh pemerintah daerah, tiba-tiba mendorong pintu kantor Kecamatan Lambu, tanpa ada komando dari koordinator aksi.

Seketika itu pula dibalas dengan tembakan oleh pihak aparat baik menggunakan gas air mata, peluru karet, bahkan diduga ada juga yang menggunakan peluru tajam.

Preman
Saat itu pun tampak ratusan preman yang diorganisir aparat kecamatan yang berdiri di samping kantor memprovokasi warga.

Ricuh pun tak dapat dihindari.

Massa FRAT yang melihat temannya terkena luka tembak dan ada yang tidak sadarkan diri, melakukan perlawanan perlawanan terhadap aparat dan preman dengan persenjataan apa adanya.

Aksi yang pada awalnya berlangsung damai, berubah menjadi bentrok terbuka karena perlakuan aparat dan pemerintahan yang mengandalkan premanisme.

Karena beberapa warga tertembak peluru polisi, membuat massa semakin terus melakukan perlawanan.

Polisi Mengejar Sampai Seminggu
Polisi melakukan pengejararan pada sore harinya (10/2/2011) sampai dengan (16/2/2011).

Lima orang dijadikan tersangka dan ditahan di Mapolresta Kota Bima yakni Abidin asal Desa Sumi, Tasrif asal Desa Rato, Fesadin asal Desa Sumi, Nurrahman asal Desa Nae dan Mashulin asal Desa Lanta, serta Arifin, tanpa pengacara/penasehat hukum yang mendampinginya.

Kepolisian menunjuk Saiful Islam, SH untuk menjadi penasehat hukum warga.

Buntut dari aksi brutal aparat, jatuh satu korban M. Nasir (23) diduga korban penembakan peluru tajam asal Desa Simpasai, yang menjadi calon tersangka, dan tak ada biaya untuk mengobati tulang di dalam mata kakinya yang telah hancur.

Dari keterangan dokter spesialis bedah, harus segera dirujuk di Rumah Sakit Mataram, karena alat medis di RSUD Kabupaten Bima belum memadai.

Pada 21/12/2011, aksi boikot pelabuhan Sape oleh warga yang tergabung dalam aliansi Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) memasuki hari yang ke 5.

Polda NTB mengerahkan pasukan Brimob beserta perlengkapan anti huru hara.

Penolakan Warga Lambu, Kabupaten Bima terhadap kehadiran perusahaan tambang PT Sumber Mineral Nusantara yang merampas ruang hidup warga berbuntut pembantaian yang dilakukan oleh aparat TNI & Poliri di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima.

12 orang meninggal dunia, 14 orang kritis, puluhan lainnya terluka.

Demikian data versi WALHI NTB sampai dengam 24/12, pukul 11.00 WIB.