Kamis, 06 Juni 2019

Jaga Suara by Canny W


Jaga Suara
Oleh : Canny Watae
Sebelum menulisnya, saya sadari ini akan menjadi bacaan yang cukup panjang. Pula butuh pemikiran dan logical thinking di sisi pembaca.
Men”Jaga-suara” di sini adalah menjaga raihan suara Prabowo(-Sandi) nanti, dan sebelum nanti. Yaitu sekarang juga.
Pada Pilpres sebelumnya (2014), saya melihat ada faktor “ketidaktahuan” yang dibarengi faktor sempitnya waktu, plus faktor kalah mental, plus semacam “kekakuan” organisasi pada tim sukses Prabowo(-Hatta). Faktor-faktor ini akumulatif, sehingga hilangnya suara Prabowo terjadi dan tak bisa diatasi. Hilang signifikan.

Secara hukum, saya manut, tunduk, dan patuh pada keputusan Mahkamah Konstitusi yang membuat pemenang Pilpres 2014 adalah Jokowi(-JK). Tetapi secara ilmiah, kemenangan dalam bentuk jumlah suara mutlak ada di Prabowo.
“Belajar” dari itu-lah, saya membuat tulisan ini, agar bisa menjadi masukan bagi segenap tim sukses Prabowo-Sandi di semua lini, dan terutama sekali masukan bagi pendukung-pendukung Prabowo-Sandi yang kiranya bisa menjadi relawan sejati mengawal suara nanti. Dan sebelum nanti.
Pada akhirnya, kompetisi Pilpres ini akan menjadi perlombaan kecerdasan (intelligent game). Sebagaimana (dalam landas-ilmiah) terjadi pada Pilpres 2014 lalu. Siapa yang bisa lebih “cerdas” dari lawan. Itulah pemenangnya. Kecuali bisa dicegah dengan aksi yang lebih cerdas di atasnya.
Bukti Yang Hilang Dengan Sendirinya
Dalam dunia penerbangan, ada beberapa kecelakaan pesawat yang baru dapat disimpulkan penyebabnya setelah diketahui bukti penyebabnya telah hilang dengan sendirinya. Bahkan, untuk sampai ke “penemuan” bukti yang “hilang-dengan-sendirinya” itu terjadi silang pendapat di antara sesama investigator. Sebab, “barang” buktinya: dipandang terlalu sederhana untuk dapat menyebabkan jatuhnya pesawat (apalagi pesawat modern dengan berbagai fitur keamanan canggih), dan, “barang” bukti itu tidak lagi kelihatan. Ia baru dapat di”lihat” ada pada tahap uji-simulasi.
Barang itu adalah es (!). Kejadiannya tentu adanya di belahan bumi yang memiliki musim dingin dalam siklus musimnya. Belum ada laporan kecelakaan karena es terjadi di bagian bumi beriklim tropis. Tak pernah terjadi di Indonesia. Maka tak pernah anda dengar terjadi di sini. Maka tak “akrab” di telinga kita.
Es yang mengendap di sayap pesawat walaupun terhitung tipis (hanya beberapa mili sampai beberapa senti) ternyata mampu menjatuhkan pesawat. Berat es itu tidak seberapa. Kalau dimuat di ruang kargo malah boleh sampai berton-ton namun pesawat tidaklah jatuh. Tetapi beberapa kilogram saja namun dalam situasi mengendap di sayap, ternyata sangat signifikan mempengaruhi daya angkat pesawat (!). Aerodinamika pesawat terganggu. Lalu, pesawatnya jatuh dari angkasa. Pesawat yang mengalaminya saat masih di landas pacu dan mencoba terbang, gagal lepas-landas dan terhempas jatuh.
Continental Connection Flight 3407 dari Newark, New Jersey, jatuh 9 mil sebelum mencapai tujuannya, Buffalo airport (2009). Penyebabnya: endapan es di sayap.
Air Ontario Flight 1363, jatuh di Ontario hanya sesaat setelah take-off (1989). Penyebabnya: sama, endapan es di sayap.
Ketika para investigator tiba di lokasi jatuhnya pesawat, es penyebab kecelakaan sudah lenyap. “Barang” bukti sudah lenyap. Sudah mencair. Hilang dengan sendirinya.
Butuh beberapa waktu bagi para investigator untuk “sampai” pada “barang” bukti. Pertama-tama mereka harus mengeliminir terlebih dahulu serangkaian “terduga” dalam daftar. Tidak asal coret, tapi harus membuktikan dulu bahwa “dugaan” itu salah karena tak ada bukti pendukungnya.
Lalu mereka sampai pada satu-satunya dan hanya satu-satunya (the one and only one) kemungkinan penyebab. Satu-satunya dan hanya satu-satunya kemungkinan itu mereka padukan dengan rekaman data penerbangan dan rekaman percakapan pilot, lalu diuji-simulasi.
Dalam kasus lain, biang keladi es memicu terjadinya kecelakaan pada bagian pesawat yang tak tampak mata. Kalau di sayap, setidaknya itu tampak mata. Masih ada kemungkinan penumpang, awak kabin, bahkan salah satu dari pilot yang bertugas melihatnya di bagian sayap.
Januari 2008, British Airways Flight 38, yang terbang dari Beijing, China, sesaat lagi mencapai Bandara Heathrow, London. Pesawatnya sangat canggih: Boeing seri triple-seven (777). Pesawat tiba-tiba kehilangan daya dorong. Pesawat mencium tanah bandara hanya beberapa meter dari ujung landasan (!).
Penyebab kecelakaannya ada di bagian yang tak tampak mata: di dalam mesin. Di bagian pemanas bahan bakar dan penyaring “es”. Terbang melintasi kawasan lingkar kutub di atas Siberia, Rusia, beberapa jam sebelumnya, bahan bakar B777 malang itu mengalami pendinginan yang luar biasa.
Saat pilot mengambil alih kendali pesawat dari sistem auto-pilot menjelang Heathrow, me”request” tambahan tenaga, aliran bahan bakar yang mendadak meningkat menyebabkan sistem pemanas kewalahan.
Ada butiran es yang lolos. Di bagian penyaring, rancangan fisik penyaring gagal bekerja. Butiran-butiran es malah menumpuk dan menyumbat keseluruhan titik saring. Akibatnya mesin tak dapat “minuman” bahan bakar. Mesin mati. Pesawat kehilangan daya dorong. Jatuh.
Si “tersangka” es sesaat setelah pesawat jatuh langsung mencair. “Menghilangkan diri” dengan sendirinya. Para investigator baru “menemukannya” saat melakukan uji-simulasi yang mengkondisikan riwayat terbang si nahas B777.
Sistem untuk mencegah kecelakaan pesawat akibat es bukannya tidak ada. Ada, baik teknis maupun non-teknis. Tetapi mana kala masih tersisa kemungkinan untuk “beraksi”nya si es “nakal”, maka kemungkinan kecelakaannya tetap ada. Dan tetap bisa terjadi.
Begitu pula dengan sistem “penghitungan suara” pada Pemilu kita. Ada “celah” besar bagi “terjadinya” aksi curang dan “lolos”nya aksi itu. Buktinya pun tanpa kita sadari ibarat mencair, lalu menguap (!). Yang “menggunakan” kecerdasan (intelligent) bisa leluasa memanfaatkan celah ini.
Bukti Ilmiah
Selalu, saya katakan selalu, pihak yang tidak mau memahami penjelasan saya mengatakan: “Lihat saja hasil KPU”. Hasil KPU untuk Pilpres 2014 sama dengan hasil Hitung-Cepat (quick count, QC) sejumlah lembaga “ternama”. Bagi mereka, “kesamaan” hasil KPU dengan QC adalah bukti otentik hasil Pilpres 2014 memang demikian adanya.
Tapi saat saya tanya: bagaimana kalau hasil QC itu tidak benar, karena mengandung cacat-hitung? Respon yang muncul adalah: lihat saja hasil KPU (!). Nah, lho…bagaimana kita bisa menyatakan hasil KPU benar adanya kalau secara ilmiah hasil itu berada dalam suatu proyeksi QC yang salah?
Jika tujuan kita adalah siapa menang siapa kalah, persoalan sudah selesai. Karena siapa yang menang ditetapkan oleh KPU (dan dikuatkan MK, keduanya berdasar mandat Undang-Undang).

Tetapi jika kita melihat kesahihan, kita harus melihat murni kepada apa yang dijabarkan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah manusia, ilmu pengetahuan (dan agama) adalah “kuasa” yang membentuk aturan (Undang-Undang).

Bahkan Undang-Undang mengenai kepemiluan (yang di dalamnya mencakup KPU) dan UU yang membawahi Mahkamah Konstitusi nyaris senantiasa berubah……karena didorong ilmu atau pengetahuan baru yang muncul belakangan, yang membuat kita berpikir untuk melakukan penyesuain baru (!).
KPU adalah birokrasi penyelenggara Pemilu. Melihat secara ilmiah bukan-lah domain KPU. KPU (RI) hanya menerima rekapan dari bawah, berjenjang-jenjang, bukan? Dalam “perjalanan” suara dari TPS sampai ke KPU Pusat ada banyak kemungkinan HASIL sahih-nya menjadi melenceng.
Untuk kita di negeri ini, banyak yang “terpaku” pada sebuah instrumen yang bernama “C1”. Kalau sudah “C1” berarti sahih. Ets, tunggu dulu. Sahih apanya? Nanti akan terjelaskan kemudian di bawah.
Bagi yang “merayakan” kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 lalu dengan mengacu QC Metro TV, termasuk di dalamnya Jokowi sendiri bersama Megawati dkk, maka secara ilmiah (semestinya) tunduk juga pada kenyataan ilmiah yang disajikan QC tersebut.
QC itu diselenggarakan Indikator Politik Indonesia (IPI), dengan periset Burhanuddin Muhtadi turut tampil dalam pemaparan. QC IPI-Metro TV itu cacat-matematis. Yang punya link ke Burhan tolong tanyakan: mengapa antara data-masuk 17% ke 18% terjadi DEVIASI melebihi deviasi maksimum yang mungkin untuk titik-titik data itu? Mengapa suara Prabowo bisa turun sampai 4,02% sementara secara matematis paling mungkin hanya bisa turun maksimum 3,23%?
Kalau bisa Burhan jawab juga: mengapa siaran QC Metro TV tiba-tiba break belasan menit? Lalu saat program kembali, grafik suara sudah berbalik keadaan dari keunggulan Prabowo menjadi keunggulan Jokowi? Burhan ada di studio saat itu. Tentu Burhanuddin Muhtadi tahu mengapa.
Yang “merayakan” karena melihat hasil QC SMRC dan LSI, harap tunduk juga pada kenyataan ilmiah-nya. Seminggu setelah hari pencoblosan SMRC dan LSI bersama-sama menyajikan penjelasan di situs mereka atas keanehan kurva stabilitas suara.
Penjelasannya: karena salah rumus. Lalu mereka menyajikan rumus dan HASIL yang “semestinya”. Lha, hasil yang “semestinya” itu saya cek ternyata SALAH juga? Kenyataan ilmiahnya jelas: QC SMRC dan LSI cacat, maka tak bisa dijadikan acuan.
Yang “merayakan” mengacu pada QC Populi Center, saya sebut salah “raya”. Proyeksi QC Populi memang Jokowi terlihat “unggul”, yaitu meraih 50,95%. Tetapi, hasil Populi ini tidak punya “mandat ilmiah” untuk menyajikan kesimpulan pemenang. Mengapa? Karena margin of error atau ruang toleransi kesalahan pada QC mereka 1%.
Artinya, secara ilmiah, rentang suara Jokowi adalah 1% di bawah titik 50,95 dan 1% di atas titik 50,95. Itu berarti ada kemungkinan suara Jokowi tidak cukup 50%. Ada kemungkinan (terburuk) Jokowi hanya meraih 49,95% (!). Kecuali jika Populi memproyeksi Jokowi meraih 51,01%, dengan margin of error 1%, maka QC itu baru bisa dijadikan acuan klaim kemenangan.
Adapun hasil “resmi” KPU Jokowi meraih 53,15%. Disandingkan dengan proyeksi Populi yang 50,95% itu, dengan margin of error 1%, berarti hasil KPU berada di luar ruang proyeksi. Maksimum, menurut QC Populi, Jokowi kalau pun menang hanya akan meraih 51,95% suara. Ini berarti QC Populi SALAH!
Tetapi, bisa jadi malah, ruang proyeksi Populi itu yang benar (!). Sangat mungkin Prabowo-lah yang menang dengan raihan 50,05%. Sedang Jokowi meraih 49,95%. Kemenangan yang sangat tipis, tetapi hasil hitung ini saling berkonfirmasi dengan QC IPI-Metro TV, apabila “manipulasi” pada titik data masuk 17% ke 18% ditiadakan.
Saling berkonfirmasi pula dengan QC sejumlah lembaga survey yang memproyeksi Prabowo sebagai pemenang pada kisaran 51 sampai 52%. Secara ilmiah dapat saya katakan hasil “resmi” KPU justru hasil yang telah mengalami manipulasi.
Melihat Menggunakan Alat Bukti Ilmiah
Sekarang mari melihat dengan Alat Bukti Ilmiah kemenangan (yang semestinya milik) Prabowo.
Alat itu adalah QC IPI sendiri.
Saya percaya IPI menyiapkan QC-nya secara baik dan benar pada tahap pra-pencoblosan. Tetapi tidak pada tahap tertentu, yaitu pada bagian tertentu pada hari-H. Ada “hasil kerja” dari tugas mulia ilmu pengetahuan bidang statistik itu yang tetap dapat dipegang sebagai acuan. Katakanlah sebagai bukti permulaan otentik. Yaitu sajian data sebelum terjadi manipulasi matematis.
Selama atau sebanyak 17% data-masuk proyeksi IPI menunjukkan Prabowo unggul dengan raihan 58,08%. Keunggulan itu telah terjadi selama atau sebanyak 16% data-masuk. Jokowi sempat unggul, yaitu pada 1% data-masuk. Jokowi meraih 60,84%, Prabowo 39,16%.
Namun setelahnya, terjadi persilangan atau crossing, yaitu keadaan berbalik. Pada data-masuk 2% Prabowo memimpin dengan raihan 63,99%. Jokowi 36,01%. Selanjutnya, hingga data-masuk ke-17%, terlihat keunggulan Prabowo, dengan selisih dua digit.
Apa yang bisa dikatakan dengan gambaran data itu?
Orang statistik bilang “trend” atau kecenderungan telah terbentuk dan telah bersifat mantap. Jika kita memandang secara grafis, dalam bentuk kurva, mata akan melihat dua garis suara, di mana garis suara Prabowo telah sekian lama berada di atas, sedang garis suara Jokowi bertahan di bawah. Itu disebut “trend”.
Melihat rentang selisih yang 2 digit (10% atau di atasnya), dan bertahan selama belasan persen periode data-masuk, maka itu disebut trend sudah bersifat mantap (steady state).
Bank Dunia, Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, sudah bisa melihat ke depan (outlook) pertumbuhan ekonomi kita bahkan hanya pada akhir tahun sebelumnya, atau minimal pada awal tahun bersangkutan. Itu bisa terjadi karena gambaran data tahun sebelumnya.
Di akhir semester pertama tahun berjalan, mereka sudah bisa menyimpulkan bakal capaian akhir tahun. Berdasar apa? Berdasar data 6 bulan dari tahun berjalan. Mengapa? Karena gambaran data 6 bulan itu ketika diwujudkan ke dalam bentuk grafis langsung memperlihatkan trend.
Gambaran statistik awal sudah menunjukkan proyeksi kemenangan Prabowo. Trend jelas, dan mantap. Kemungkinan berubahnya sangat kecil. Namun, itu tadi, terjadi hal yang melanggar hukum matematika. Terjadi penurunan suara a la IPI yang tak bisa dibenarkan secara matematis. Kalau-lah pada 1 periode data-masuk (antara 17% ke 18%) itu suaranya memilih Jokowi semua (itu pun sangat sulit diterima akal sehat), maka suara Prabowo paling maksimum turun hanya sejauh 3,23%.
Pada QC IPI, penurunan terjadi hingga 4,02% (!). Kalau dikalimatkan, bunyinya begini: pada periode data-masuk tersebut, selain semua suara masuk memilih Jokowi secara keseluruhan, suara yang sudah diraih Prabowo sebelum itu ada yang diambil untuk dijadikan suara Jokowi. Sudah “curang”, “mencuri” pula.
C1 dan Indikasi Manipulasi

Sekarang, mari kita lihat apakah “penyesuaian” penghitungan suara bisa dilakukan? Maksudnya, apakah ada celah hasil KPU (justru) “menyesuaikan” dengan hasil QC (yang telah dimanipulasi)?

Jawabnya adalah YA, dan bukti tindakan kotor itu bisa keburu mencair lalu “menguap”. Tindakan kotor itu hanya bisa dideteksi dengan alat bukti ilmiah.
Apabila QC IPI di-restorasi dengan mengeluarkan bagian data yang terbukti matematis melanggar hukum matematika, maka akan tergambar hasil QC yang berbeda dengan hasil KPU. Prabowo akan terproyeksi meraih 47,03 plus 4,02 persen suara. Atau 51,05% suara. Pengaruhnya ada di angka margin of error.
Tentu MoE QC IPI akan naik, tapi sangat kecil saja. Dengan menyingkirkan jumlah TPS yang ada dalam 1% periode data-masuk yang terbukti manipulatif di atas, MoE akan naik sangat kecil. Faktor jumlah TPS itu ada di bawah fungsi akar kuadrat.
Sudah pasti sangat kecil, dan dapat diabaikan. Artinya margin of error hanya bertambah naik dalam skala fraksi kecil di atas 1%. Kisaran raihan suara Prabowo adalah 50,05% sampai 52,05%.
Dengan demikian, dengan alat bukti QC IPI sendiri (yang direstorasi hingga memenuhi hukum matematika), dapat ditarik kesimpulan Prabowo adalah pemenang Pilpres 2014. Pula, proyeksi saling masuk dengan Populi Center. Bercocokan. Saling konfirmasi.
Tak heran kalau di hari-hari awal pasca Hari-H Pilpres lalu itu Burhanuddin Muhtadi kukuh berpendapat “kalau hasil KPU berbeda dengan hasil QC lembaganya, maka KPU pasti salah”.
Dengan dasar ilmiah saya sangat sepakat dengan pendapat Burhan ini, dengan catatan: asal QC tersebut tidak melanggar hukum matematika. Sayangnya, QC Burhan itu cacat matematis, dan kalau direstorasi hasilnya justru berbeda jauh dan memberi dampak sebaliknya.
Tempo hari, publik telanjur “terikat” pada statement C1. Bahwa, kesahihan data hasil penghitungan suara silahkan merujuk ke data C1.
Berdasar ikatan ini, konklusi yang ditawarkan sebuah “gerakan sosial” bernama “Kawal Pemilu” dengan begitu mudah “diterima” sebagai sumber informasi yang layak dipercaya.
“Gerakan” ini mengklaim data penghitungan (kawalpemilu dot org) berasal dari scan form C1 yang di-publish oleh KPU dan didigitisasi dengan bantuan relawan netizen yang independen.
Didigitisasi dengan bantuan relawan netizen? Yang independen? Wow, di situlah celah terbesarnya. Tidak ada yang bisa menjamin klaim “relawan” benar adanya relawan, bukan justru kubu dari kontestan Pilpres. Apalagi jaminan independensi. Bentuk apa penjaminannya? Sekedar pernyataan “saya independen”? Tentu lucu.
Ada yang bisa jamin proses digitisasi berjalan tanpa kesalahan? Saya yakin tidak ada. Bayangkan data scan yang berbentuk PDF atau Foto Jpg ditela’ah satu persatu, pun oleh ribuan “relawan”, bisakah dijamin tidak terjadi kesalahan input? Secara sengaja pula? Jangan bilang “bisa kok ada software yang bisa translasi data PDF/Jpg menjadi data digit angka”.
Tidak semua kejadian translasi menghasilkan angka digit yang benar. Dan poin utamanya bukan juga di situ. Tetapi: the man behind the machine. Siapa yang menjamin si “relawan” tidak mengutak-atik hasil digitisasi? Nobody can, Ferguzo!
Mari berpikir logis: siapa yang bisa memeriksa rinci semesta data yang berjumlah lebih dari 400 ribu TPS secara independen?
Dan pihak mana yang sanggup tampil sebagai “control”, yang juga independen? Sedangkan KPU saja yang adalah organ Negara yang hadir pada semua tingkatan Pemilihan (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota), yang jelas jelas digaji Negara, tidak dapat dijamin memeriksa rinci ratusan ribu data yang masuk.
Sekarang, bisakah data C1-nya salah, tidak bersesuaian dengan data lapangan sesungguhnya? Dalam artian, data C1 sekali pun ada celah di”kerjain”? Jawabannya: BISA. Dan banyak buktinya. Bisa kita tengok di https://c1yanganeh,tumblr,com. Mohon ganti tanda koma (,) menjadi tanda titik (.). Berbagai kesalahan C1 tampak di situ. Mulai dari modifikasi hasil, salah jumlah, kurang saksi, sampai data kosong pun, ada.
Saya ambil salah satu contoh. TPS 05, Desa/Kelurahan Balowerti, Kecamatan Kota, Kota Kediri, Jawa Timur. Suara Prabowo 226, Jokowi 75. Hasilnya dimodifikasi, ditukar, menjadi: Prabowo 75, Jokowi 226.
Lebih “advance” lagi soal C1 ini: bisakah data-data C1 di”obok-obok”, “ditukar dengan data C1 rakitan”? Jawabannya adalah BISA juga. Caranya, ya masuk ke basis data (database) KPU. Bisa dengan cara canggih (teknik hacking dari jauh).
Bisa juga dengan cara “konvensional”. Yaitu: database KPU diakses dari jarak dekat. Indikasinya di sini ada, yaitu “ocehan” seorang politisi (kubu Jokowi sendiri) yang sempat membocorkan strategi “mobil sedot data”.
Nah, sampai di sini saya mau katakan: hasil sesahih-sahihnya hasil dari Pilpres (yang lalu dan yang akan datang) ada di dalam kotak suara yang masih berada di TPS, sesaat ketika jadwal coblos selesai.
Hasil itu nantinya, setelah dihitung akan dipindahkan ke form C1, yang mana dalam perjalanan selanjutnya C1 itu sendiri bisa berubah (!). Ada pun bukti sahih-nya, berupa kertas-kertas coblosan akan segera “dilupakan”. Seperti es penyebab jatuhnya pesawat, ia akan mencair dan “menghilang”.
Selain dari pada kegiatan penghitungan suara di TPS yang dibiayai Negara, tidak ada lagi yang sanggup membiayai penghitungan ulang di seluruh Indonesia (dan TPS luar negeri, tentunya). Kertas-kertas suara itu praktis “no longer accessible to the public” sekali ia diangkut dari TPS. Tak lagi bisa diakses publik. Mencair, menguap.
Pembentukan ulang (rekonstruksi) hasil hitung pada Hari-H itu hanya bisa dilakukan dengan menggunakan faktor “control”, yaitu Quick Count. Dalam buku The Quick Count and Election Observation, National Democratic Institute for International Affairs, Washington DC, 1964, metode Quick Count digambarkan sebagai metode kuat untuk memonitor pelaksanaan Pemilu sekaligus sebagai alat verifikasi hasil resmi. Dengan catatan: QC tidak bercacat.
Dari uraian panjang ini anda bisa melihat bagaimana sebenarnya hasil Pilpres 2014 lalu, secara ilmiah.
Dari situ juga, khususnya untuk sesama pendukung Prabowo-Sandi, mari “Jaga TPS”. Bikin dokumentasi hasil hitung di TPS. Foto lembar hasil penghitungan suara. Kelak akan sangat berguna, untuk melawan aksi-aksi kotor pasca kotak suara meninggalkan kita. Mencair, dan menguap.
Untuk tim BPN dan BPD Prabowo-Sandi, sudahkah ada “metode” mengamankan suara? Sudahkah siap menghadapi “intelligent game” pada Hari-H? Sudahkah menghadapi “intelligent game” yang sedang berlangsung saat ini? Please, raba sekali lagi kotak suara. Rasakan dingin logamnya. Logam? Ah, ya, saya ingat… Kardus! Itu, secara “intelligent” harus dipandang sebagai “cara mudah” menghanguskan suara Prabowo-Sandi. Hangus dalam arti sebenar-benarnya dimakan api.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10157370733298984&id=624818983

(Visited 77 times, 1 visits today)

from: http://www.jerami.info/2019/03/16/jaga-raihan-suara-prabowo-sandi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar