Coronavirus, Ketakutan dan Kesalahan Informasi
*****
Riuh dan ....
*****
The World Health Organization (WHO ) akhirnya menyatakan wabah coronavirus keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional pada tanggal 30 Januari. Pemerintah Cina telah mengunci sedikitnya 20 kota, membatasi pergerakan lebih dari 50 juta orang. Saat artikel ini disiapkan untuk publikasi, setidaknya 360 orang telah terbunuh oleh virus di China, dari sekitar 17.000 kasus yang dikonfirmasi. Setidaknya 23 negara lain telah melaporkan kasus, termasuk Australia, Kanada, Prancis, Jepang, Filipina, dan Singapura.
Media sosial telah menjadi pedang bermata dua di tengah epidemi mematikan ini. Di satu sisi, itu telah memungkinkan peningkatan akses ke informasi. Sebagai contoh, orang Indonesia yang terperangkap di kota-kota di kuncian telah dapat memberi tahu teman dan keluarga mereka bagaimana keadaan mereka. Video yang beredar di media sosial orang-orang di Wuhan meneriakkan " Wuhan, Jiayou " atau "Wuhan, teruskan pertarungan" menunjukkan media sosial juga telah menjadi sarana penting untuk mempertahankan solidaritas sosial dalam menghadapi krisis.
Media sosial juga berarti bahwa hampir tidak mungkin bagi pemerintah Cina untuk menyembunyikan tingkat masalah atau upaya untuk memanipulasi akses ke informasi. Bandingkan, misalnya, penanganan pemerintah terhadap wabah koronavirus dengan upayanya untuk menutupi wabah SARS pada akhir 2002 dan awal 2003.
Tetapi di sisi lain, informasi yang tidak lengkap dan sifat epidemi yang berkembang pesat telah memberikan lahan subur bagi penyebaran rumor online. Banjir hoax dan informasi yang tidak terhentikan telah dirilis di media sosial, beberapa di antaranya telah diambil dan diperkuat oleh media tradisional.
Epidemi koronavirus telah melepaskan kepanikan yang luas, teori konspirasi tentang sumbernya, rasisme terhadap etnis Tionghoa, serta lelucon dan meme.
Semua hal di atas dapat dilihat dalam tanggapan netizen Indonesia terhadap wabah tersebut. Netizen Indonesia memiliki reputasi untuk melihat sisi ringan dari peristiwa-peristiwa serius dan wabah coronavirus tidak terkecuali, dengan humor yang kuat mendominasi banyak percakapan Twitter Indonesia.
Pada hari-hari awal epidemi, misalnya, pelawak berdiri Reza Pardede bercanda tentang virus di Twitter, memicu reaksi karena tidak menghormati korban dan keluarga mereka. Tetapi bahkan di tengah tanggapan negatif yang sebagian besar, banyak netizen Indonesia memuji dia untuk "humor gelap" nya.
Respons di media sosial bukan hanya lelucon gelap yang kurang empati. Mengingat polarisasi politik yang dalam yang telah terjadi di kalangan orang Indonesia secara online selama beberapa tahun terakhir, tidak mengherankan bahwa beberapa netizen berusaha menjadikan virus tersebut sebagai komoditas politik.
Kelompok konservatif agama , misalnya, menghubungkan coronavirus dengan pelanggaran hak asasi manusia Muslim Uighur. Meskipun kedua masalah ini jelas tidak berhubungan, ada dukungan luas untuk pandangan tersebut. Bahkan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid menggambarkan virus itu sebagai "koreksi" (mungkin oleh Tuhan) sebagai tanggapan terhadap kebijakan Partai Komunis Tiongkok terhadap masyarakat Uighur.
Pernyataan malas semacam ini (These kinds of lazy statements are) tentu saja dog whistles (peluit anjing) untuk sentimen anti-Cina yang telah lama menjadi bagian dari politik Indonesia. Tetapi mereka berbahaya karena tampaknya menyiratkan bahwa Cina entah bagaimana pantas mendapatkan epidemi ini, atau bahwa para korban tidak pantas mendapatkan empati karena kebijakan Cina terhadap Muslim Uighur.
Bagian yang menyedihkan tentang semua ini adalah bahwa lelucon kelam dan upaya untuk mengingatkan orang Indonesia tentang tindakan pemerintah Cina terhadap warga Uighur tidak melakukan apa pun untuk memanusiakan para korban krisis, juga tidak berkontribusi pada upaya membatasi dampaknya.
Dan mereka akhirnya merugikan pelajar dan warga negara Indonesia di kota-kota seperti Wuhan. Seorang pelajar Indonesia, misalnya, mengatakan bahwa humor hitam daring dan merujuk ke Wuhan sebagai "tanah zombie" hanya membuat kepanikannya semakin jauh. Semua siswa yang terperangkap di Wuhan berusaha melakukan, katanya, adalah untuk tetap tenang dan meyakinkan keluarga mereka bahwa mereka baik-baik saja.
Teori konspirasi juga telah beredar luas di media sosial Indonesia. Salah satu yang paling menonjol adalah klaim bahwa virus tersebut sebenarnya adalah senjata biologis Tiongkok yang bocor.
Yang mengecewakan, teori-teori konspirasi ini telah tersebar luas sehingga bahkan telah dibahas secara serius oleh media arus utama. Ini hampir merupakan contoh buku teks tentang bagaimana tipuan dan kesalahan informasi menyebar di Indonesia. Seringkali dimulai dengan klaim tak berdasar di WhatsApp atau Twitter, tipuan atau informasi menyesatkan dibahas secara luas di antara warga online, dan kemudian dijemput dan disambut oleh media yang tidak memiliki keterampilan berpikir kritis yang kuat. Pelaporan media mainstream kemudian berakhir melegitimasi informasi yang menyesatkan atau salah ini.
Ini telah menjadi patologi yang mengkhawatirkan media Indonesia karena telah beralih ke model online yang mengutamakan lalu lintas di atas segalanya. Hanya beberapa outlet media arus utama, seperti Tempo dan Media Indonesia , mencoba membantah klaim palsu tentang coronavirus. Secara keseluruhan, media arus utama telah memainkan peran aktif dalam menyebarkan informasi yang salah.
Memberikan informasi yang diverifikasi sangat penting dalam situasi seperti epidemi coronavirus. Organisasi media harus mengakui bahwa berpartisipasi dalam menyebarkan tipuan dan kesalahan informasi hanya akan mendelegitimasi organisasi mereka sebagai sumber informasi yang diverifikasi dan akurat.
Kementerian Komunikasi dan Informasi sebenarnya telah berupaya membendung aliran informasi yang salah secara online, merilis daftar 36 tipuan terkait dengan coronavirus. Kebohongan berkisar dari sumber wabah hingga kecurigaan bahwa virus telah diidentifikasi di rumah sakit Indonesia. Jika tidak dikelola oleh pemerintah dan organisasi media yang bertanggung jawab, rumor ini dapat dengan cepat menyebabkan kepanikan massal.
Upaya Indonesia untuk merespons epidemi koronavirus harus lebih dari sekadar mengevakuasi warga negara Indonesia dari Tiongkok, menguji orang-orang yang kembali dari daerah yang terkena, dan mengisolasi dan menyediakan pengobatan bagi warga yang terkena dampak.
Elemen kunci dalam menanggapi wabah koronavirus juga harus melibatkan upaya untuk menghilangkan atau menantang informasi yang salah. Meminimalkan ketakutan dan kepanikan sebagai akibat dari kebohongan dan kesalahan informasi adalah setengah dari tugas dalam menanggapi krisis yang terus berkembang ini, yang sampai sekarang belum berakhir.
Catatan:
Wisnu Prasetya Utomo adalah dosen di Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM). Minat penelitiannya meliputi ekonomi politik media, komunikasi politik, jurnalisme, dan informasi yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar