Ilegal, Tindakan Pemerintah Melumpuhkan Medsos
By Asyari Usman
Dalam dua hari ini, 22-23 Menteri Kominfo Rudiantara sengaja menutup media sosial sebagai salah satu sarana bagi publik untuk mendapatkan informasi. Tindakan itu menyebabkan para pengguna Facebook, Twitter, Instagram, Whatapps, dll, tidak bisa berkomunikasi atau mengkomunikasikan berita dan informasi yang menjadi hak publik.
Berbagai platform media sosial itu sangat penting bagi masyarakat karena di era Jokiwi ini media mainstream hampir 100% terkooptasi oleh kekuasaan. Atau sebagian melacurkan diri kepada kekuasaan yang menyebabkan informasi dan berita-berita yang mereka siarkan tidak memenuhi kaidah “impartial” (tak memihak).
Pelumpuhan medos menyebabkan netizen tidak bisa menjadi sumber alternatif sebagai penyeimbang media mainstream. Langkah pemerintah itu merupakan tidakan represif yang sangat merugikan masyarakat luas. Tidak hanya represif, tindakan Menkominfo mematikan medsos adalah illegal, melanggar UUD 1945 dan UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi yang antara lain bertujuan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.
Mendapatkan informasi adalah hak yang dilindungi dan dijamin oleh UUD 1945. Jaminan konstitusi itu ada di pasal 28-F yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Pemerintah mengatakan tindakan itu perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran hoax di tengah situasi rusuh dalam dua hari belakangan. Alasan ini sangat tidak masuk akal. Sebab, pemerintah selalu bisa dengan mudah menemukan akun-akun medsos yang menyiarkan hoax. Itu sudah terbukti selama hari ini. Begitu banyak orang yang dikenai pasal-pasal ITE.
Karena itu, pembatasan medsos yang tak masuk akal ini dapat disebut sebagai langkah sensor melelaui intervensi langsung pihak penguasa. Pemerintah atau pihak mana pun tidak boleh melakukan penyensoran terhadap informasi atau berita yang menjadi hak publik untuk mengetahuinya.
Netizen berhak melaporkan, lewat media sosial, hal-hal yang terjadi di tengah masyarakat termasuk kerusuhan dan akibat-akibatnya. Dalam dua hari ini, pengguna medsos tidak bisa mengirimkan foto atau video yang menggambarkan kejadian-kejadian yang terkait langsung atau tak langsung dengan aksi Kedaulatan Rakyat di sekitar kantor Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) di Jalan Thamrin, Jakarta.
Yang dilanggar oleh Menkominfo Rudiantara adalah hak asasi setiap warga negara untuk menggunakan media sosial tanpa pengekangan dengan alasan apa pun.
Pengekangan selama dua hari ini seratus persen bernuansa politis. Dalam arti, pihak penguasa sengaja mengekang medsos agar berbagai tindak-kekerasan yang patut diduga telah dilakukan oleh organ-orang penguasa, bisa disembunyikan. Agar para penguasa tidak tercemar oleh tidakan represif dan brutal yang patut diduga telah mereka lakukan.
Pengekangan medsos tidak boleh lagi terjadi. Komnas HAM harus menyelidiki tindakan represif pemerintah terhadap pengguna medsos. Ini merupakan bentuk “abuse of power” (tidakan sewenang-wenang).
(Penulis adalah wartawan senior)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar